Setelah mengalami penundaan, maka pada Senin 22 Maret 2021, Majelis Pekerja Klasis (MPK) GPM Pulau Ambon Utara bertemu dengan Ketua Pengadilan Negeri Ambon. Setelah melaporkan diri dan diberikan kartu tamu, maka kami diarahkan untuk ke lantai II menuju ruang kerja Ketua Pengadilan Negeri Ambon dan setelah menunggu beberapa menit, kami dipersilahkan masuk dan diterima oleh Bapak Pasti Tarigan, SH., MH. Mewakili MPK GPM Pulau Ambon Utara; Ketua Klasis, Sekrataris Klasis, dan Pnt. W. Girsang, kemudian memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kehadiran kami.
Bahwa penguatan keluarga Kristen adalah perioritas utama pelayanan Klasis GPM Pulau Ambon Utara. Bagi kami ada sejumlah problematika yang dihadapi, terutama masalah perceraian. Gereja menolak perceraian, namun perceraian suami-istri terus terjadi dan sangat berdampak bagi kelangsungan hidup keluarga, terutama anak-anak. Karena itu, meminta kesediaannya untuk membantu kami untuk memperoleh data-data terkait jumlah penanganan perkara perceraian di Pengadilan Negeri Ambon. Data-data tersebut akan sangat membantu kami dalam upaya mengembangkan pendekatan dan materi pembinaan keluarga Kristen.
Menurutnya, saat ini sementara ditangani 79 gelar perkara, diantaranya 54 perkara perceraian. Lebih lanjut, kami menyampaikan masalah yang masih terus dihadapi GPM seputar ada pasangan suami-istri yang pisah dan sudah tinggal 5 – 10 tahun dan sudah punya anak, namun tidak bisa dilayani pemberkatan nikah. Pemberkatan nikah hanya bisa dilakukan, jika dapat ditunjukkan surat cerai (putusan hukum) dari Pengadilan Negeri. Dapatlah dikatalkan, kasus pasangan suami-istri yang “cerai hidup” seperti diatas tidak belum ditemukan jalan keluar, selain putusan hukum tersebut. Akhirnya, pasangan suami-istri yang sudah punya anak tidak bisa dicatatkan sebagai satu keluarga (=KK) dalam data jemaat, tidak dapat mengurus Kartu Keluarga dan administrasi kepndudukan lainnya, sehingga akan berdampak bagi urusan pendidikan anak, dll. Kamipun menyampaikan sejumlah pertanyaan guna penyelesaiannya dari perspektif hukum.
Ada hal menarik yang dijelaskannya, jika ada pasangan suami-istri yang sebelumnya telah layani pemberkatan nikahnya oleh GPM, namun belum nikah Catatan Sipil, maka sebaiknya dipertimbangkan agar GPM melakukan pemberkatan kembali untuk menyelamatkan keluarga. Artinya, jika belum nikah Catatan Sipil, maka belum dianggap sah oleh negara. Memang bertentangan dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, namun saat sebuah gugatan perceraian disampaikan, maka pengadilan negeri akan meminta surat nikah Catatan Sipil, bukan Surat Nikah gereja. Menurutnya, gereja bisa menyelamatkan pasangan suami-istri yang sebelumnya hanya nikah gereja. Saat ditanyakan resiko hukum yang akan dihadapi gereja, baginya kalau ada yang menggugat, tidak akan diterima oleh Pengadilan Negeri. Mungkin saja pihak yang tidak menerima akan melaporkan ke Polisi dengan bukti Surat Nikah gereja, maka akan dikategorikan sebagai hukum pidana.
Kamipun menjelaskan bahwa GPM telah menegaskan agar nikah gereja harus dijadikan satu paket dengan nikah catatan sipil. Namun, terhadap kasus “cerai hidup” diatas, khususnya pasangan suami-istri yang nikah gereja, tetapi belum nikah catatan sipil, dapatkah digunakan surat pernyataan para pihak diatas kertas yang bermeterai. Baginya, dapat digunakan meterai Rp. 10.000 untuk memastikan tidak keberatan pasangannya menikah lagi. Selain itu, kami mendapat kejelasan pula tentang pengurusan perceraian di Pengadilan Negeri bahwa biaya pengurusan perceraian di Pengadilan Negeri untuk wilayah Kota/Pulau Ambon tidak sampai Rp. 1.000.000,- dan disediakan juga bantuan hukum secara gratis. Lebih lengkapnya, masyarakat dapat mendatangi langsung kantor Pengadilan Negeri Ambon pada setiap jam kerja guna mendapat kejelasan informasi yang dibutuhkan.
Percakapan yang berlangsung lebih sejam ini, semakin memperlihatkan adanya sejumlah masalah terkait pernikahan dan perceraian. Karena itu, sangat penting pendampingan gereja, bukan saja pada saat keluarga menghadapi masalah perceraian, tetapi yang sangat penting pula adalah saat mempersiapkan umat menuju pernikahan. Baginya, jangka waktu pasroralia pra nikah 3 bulan-pun tidak bisa menjadi jaminan bagi langgengnya keutuhan sebuah keluarga. Umumnya penyebab perceraian adalah faktor ekonomi dan KDRT. Ternyata, dari sejumlah gugatan cerai di Pengadilan Negeri, tidak saja dilakukan oleh istri, tetapi juga suami dengan jumlah yang berimbang. Juga, fenomena berkenalan melalui facebook, instagram, dll., kemudian memutuskan untuk menikah, tanpa mengenal pasangan secara baik, seringkali harus berakhir di pengadilan. Selain itu, semakin hilangnya nilai-nilai budaya yang turut mengikat sebuah penikahan. Sebenarnya, masih banyak hal yang bisa dipertanyakan dan dipercakapkan bersama, namun kami harus membatasinya karena ada pula tamu yang menunggu gilirannya.
Sebelum mengakhiri pertemuan dengan doa yang dibawakan oleh Sekretaris Klasis, kami menyampaikan harapan agar dapat melanjutkan diskusi bersma pada kesempatan lain. Jika dibutuhkan, kami akan mengundangnya dalam kegiatan yang digelar Klasis GPM Pulau Ambon Utara untuk kepentingan konsultasi hukum.